Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Target NDC dalam Perpres 98 Tahun 2021

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Target NDC dalam Perpres 98 Tahun 2021

Seperti yang kita ketahui, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) dan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia mencakup beberapa aspek yang penting dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan target utama pencapaian target NDC. Bagaimana caranya mencapai target NDC? Salah satu strategi implementasi NDC adalah melalui aksi mitigasi perubahan iklim dan adaptasi perubahan iklim. Proses penyelenggaraannya melibatkan berbagai pihak, mulai dari kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat. Dalam Perpres 98, diatur 5 sektor NDC, namun terdapat penambahan sektor lain di bagian F untuk mengakomodasi perkembangan lingkungan dan teknologi. Hal ini merupakan langkah penting untuk Second NDC yang direncanakan akan diserahkan pada tahun 2025.

 

Aspek yang Diatur Dalam Perpres 98 Tahun 2021

  1. Upaya Pencapaian Target NDC: Perpres 98 Tahun 2021 mencakup upaya pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau NDC.
  2. Tata Laksana Penyelenggaraan NEK: Perpres 98 Tahun 2021 menetapkan tata laksana penyelenggaraan NEK, yang meliputi kerangka transparansi, pemantauan dan evaluasi, pembinaan dan pendanaan, dan komite pengarah pada pengelolaan NEK.
  3. Mitigasi Perubahan Iklim dan Adaptasi Perubahan Iklim: Perpres 98 Tahun 2021 mengatur tentang pelaksanaan mitigasi perubahan iklim dan adaptasi perubahan iklim, yang merupakan langkah yang diambil untuk mencapai target NDC.
  4. Penyelenggaraan NEK: Perpres 98 Tahun 2021 mengatur tentang penyelenggaraan NEK, yang meliputi perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain.
  5. Pemantauan dan Evaluasi: Perpres 98 Tahun 2021 mengatur tentang pemantauan dan evaluasi, yang diperlukan untuk memastikan bahwa upaya pencapaian target NDC berjalan dengan efektif.

 

Mekanisme Pencapaian Target NDC

Pencapaian target NDC dilakukan melalui dua mekanisme utama, yaitu mitigasi perubahan iklim dan adaptasi perubahan iklim. Berdasarkan baseline emisi GRK 2030 sebesar 2,869 juta ton CO2e, sektor NDC mengimplementasikan berbagai strategi, termasuk perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lainnya. Di Indonesia, mekanisme ini dikenal sebagai mekanisme penyelenggaraan NEK. Implementasi mekanisme ini memerlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang tepat, serta pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan.

 

Tahapan Implementasi Target NDC

Tahapan implementasi yang terstruktur sangat diperlukan untuk mencapai target NDC. Mulai dari penyusunan peta jalan, pemahaman terhadap baseline, perincian baseline, rincian target, hingga skenario mitigasi dan adaptasi, semuanya harus terdokumentasi dengan jelas. Selain itu, kebutuhan dana dan teknologi juga menjadi faktor kunci dalam menjalankan strategi pencapaian target NDC. Dengan merujuk pada acuan referensi utama yang telah disiapkan, implementasi target NDC dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

 

Implementasi target NDC dalam Perpres 98 Tahun 2021 merupakan langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak dan mekanisme untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan adanya kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, diharapkan pencapaian target NDC dapat berjalan sesuai rencana dan memberikan dampak positif dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk informasi lebih lanjut seputar lingkungan dan keberlanjutan, Anda dapat mengunjungi Lensa Lingkungan.

Mekanisme dan Prosedur Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia

Mekanisme dan Prosedur Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia

Nilai ekonomi karbon (NEK) menjadi salah satu fokus utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Dalam artikel ini, kami akan membahas skema mekanisme dan prosedur penyelenggaraan NEK serta bagaimana implementasinya dilakukan oleh berbagai pihak terkait.

 

 Mekanisme Penyelenggaraan NEK

Terdapat empat mekanisme utama dalam penyelenggaraan NEK, yakni perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lainnya yang mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  1. Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon merupakan salah satu mekanisme yang paling dikenal dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Terdapat dua kelompok dalam perdagangan karbon, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi. Perdagangan emisi dapat dilakukan secara domestik maupun internasional. Di tingkat domestik, infrastruktur pasar karbon telah disiapkan, sementara di tingkat internasional, perdagangan karbon dilakukan melalui kerjasama bilateral.

Dalam perdagangan karbon, carbon footprint merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur dan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Menghitung carbon footprint produk melibatkan pengukuran emisi dari beberapa sumber, yang dikenal sebagai carbon footprint scopes. Scopes 1, 2, dan 3 merupakan sumber emisi yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kontrol yang dikendalikan oleh perusahaan.

Peraturan yang mengatur perdagangan karbon telah diatur dalam Permen Nilai Ekonomi Karbon. Hal-hal yang menjadi perhatian utama dalam perdagangan emisi adalah regulasi mengenai cap and allowance yang diatur melalui PT BAE dan PT BAE-PU untuk masing-masing sektor terkait.

  1. Pembayaran Berbasis Kinerja

Selain perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja juga menjadi mekanisme penting dalam penyelenggaraan NEK. Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha atau individu yang berhasil mengurangi emisi GRK atau melakukan upaya mitigasi perubahan iklim.

  1. Pungutan Atas Karbon

Pungutan atas karbon merupakan mekanisme yang diatur oleh Kementerian Keuangan. Mekanisme ini bertujuan untuk menetapkan tarif atau pajak atas emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu kegiatan ekonomi. Pendapatan dari pungutan ini dapat digunakan untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

  1. Mekanisme Lainnya

Selain tiga mekanisme utama tersebut, terdapat pula mekanisme lainnya yang mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mekanisme ini dapat berupa inovasi dalam teknologi pengurangan emisi GRK atau pengembangan metode baru dalam mengukur dan memonitor emisi karbon.

 

 Prosedur Penyelenggaraan NEK

Prosedur penyelenggaraan NEK melibatkan berbagai pihak, termasuk kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Secara umum, prosedur ini mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Beberapa prosedur khusus yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan NEK antara lain:

  • Penetapan baseline dan target pengurangan emisi GRK
  • Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK (SPE GRK) yang menjadi unit dalam sistem karbon dan perdagangan karbon
  • Tata kelola pasar karbon dan infrastruktur yang mendukung perdagangan karbon

 

 Implementasi oleh Pihak Terkait

Penyelenggaraan NEK dilakukan oleh berbagai pihak terkait sesuai dengan perannya masing-masing. Kementerian dan lembaga terkait bertanggung jawab dalam menyusun peraturan dan kebijakan terkait NEK, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab dalam implementasi program-program mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal.

Pelaku usaha memiliki peran penting dalam mengurangi emisi GRK dan berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Masyarakat juga diharapkan untuk terlibat aktif dalam upaya mitigasi perubahan iklim, baik melalui kegiatan sehari-hari maupun mendukung kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon melalui berbagai mekanisme dan prosedur merupakan langkah yang penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan melibatkan berbagai pihak terkait dan memastikan implementasi yang efektif, diharapkan Indonesia dapat mencapai target mitigasi perubahan iklim sesuai dengan komitmen internasionalnya. Dengan adanya regulasi yang jelas dan infrastruktur yang mendukung, Indonesia dapat menjadi contoh dalam upaya mitigasi perubahan iklim di tingkat global.

 

 

Strategi Pengukuran dan Penetapan Titik Sampling Udara Ambien dalam Konteks Proyek Jalan Tol

Strategi Pengukuran dan Penetapan Titik Sampling Udara Ambien dalam Konteks Proyek Jalan Tol

Upaya untuk menilai dan mengukur opasitas emisi pada asap yang berasal dari cerobong industri menjadi semakin penting dalam konteks pelestarian kualitas udara. Dalam hal ini, kita dapat menjawab pertanyaan apakah kita memiliki metode yang efektif untuk menentukan opasitas tersebut. Selain itu, titik sampling udara ambien juga menjadi perhatian khusus, terutama dalam konteks proyek jalan tol. Mari kita bahas lebih lanjut strategi pengukuran opasitas emisi dan penentuan titik sampling yang tepat.

 

Opasitas Emisi: Alat Ukur dan Relevansinya

Opasitas pada asap industri dapat diukur dengan menggunakan alat ukur khusus yang dirancang untuk tujuan tersebut. Alat ini memberikan nilai opasitas yang dapat diinterpretasikan, memungkinkan kita untuk memahami sejauh mana cahaya dapat melewati asap tersebut. Dengan adanya alat ukur yang sesuai, kita dapat secara kuantitatif menentukan tingkat opasitas emisi, memberikan kejelasan pada dampak asap industri terhadap kualitas udara.

 

Titik Sampling Udara Ambien pada Proyek Jalan Tol

Dalam konteks proyek jalan tol, penentuan titik sampling udara ambien menjadi kunci untuk mendapatkan data yang representatif. Jalan tol sering disebut sebagai emisi garis, dengan kendaraan yang memiliki pola yang seragam dari awal hingga akhir tol. Meskipun demikian, adanya exit toll dan entry toll dapat menciptakan kondisi yang tidak seragam. Oleh karena itu, diperlukan pembagian segmen berdasarkan karakteristik berbeda dengan bantuan tenaga ahli atau konsultan lingkungan.

Pembagian segmen, misalnya menjadi segmen A, B, C, dan D, membantu memahami perbedaan kondisi di berbagai bagian jalan tol. Penggunaan sampling road side (pinggir jalan) menjadi pilihan yang tepat ketika kondisi dianggap seragam, dan pemilihan titik sampling dapat dilakukan dengan lebih fleksibel. Dalam situasi yang kompleks, seperti di area percabangan, pengambilan sampel di berbagai tempat menjadi kunci untuk membentuk kontur polutan yang akurat.

 

Strategi Penetapan Titik Sampling yang Efektif

Penetapan titik sampling yang efektif memerlukan perencanaan yang matang. Pertama, desain kontur perlu dibuat untuk merancang pola distribusi polutan di sepanjang jalan tol. Hipotesis kemudian dibentuk berdasarkan desain kontur tersebut, membantu menentukan area yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam pengambilan sampel.

Contohnya, jika hipotesis menyatakan bahwa area tengah cabang memiliki tingkat polutan yang lebih tinggi secara teoritis, maka titik sampling lebih banyak ditempatkan di tengah area tersebut. Dengan melakukan pengambilan sampel di berbagai tempat, hasil pemantauan dapat memverifikasi hipotesis yang telah dibuat, membentuk kontur polutan yang akurat sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.

 

Dalam konteks penilaian opasitas emisi pada asap industri dan penentuan titik sampling udara ambien, kita memiliki metode yang dapat diandalkan dengan menggunakan alat ukur khusus. Dalam proyek jalan tol, pemilihan titik sampling yang tepat melalui pembagian segmen dan perencanaan desain kontur menjadi kunci untuk mendapatkan data yang representatif. Dengan strategi pengukuran dan penetapan titik sampling yang efektif, kita dapat lebih memahami dampak asap industri terhadap kualitas udara ambien.

Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia: Target NDC 2030

Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia: Target NDC 2030

Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan mengenai NDC (Nationally Determined Contributions), yang merupakan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Kali ini, pembahasan akan difokuskan pada aspek penting lainnya, yaitu nilai ekonomi karbon, dan implementasinya di Indonesia.

 

Pentingnya Nilai Ekonomi Karbon dalam Pencapaian Target NDC

Mekanisme dan implementasi nilai ekonomi karbon di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian target NDC Indonesia hingga tahun 2030. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Dirjen terkait dengan pentingnya peran nilai ekonomi karbon dalam mengendalikan perubahan iklim.

Indonesia memiliki posisi yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Faktor geografis dan klimatologis, serta seringnya terjadi bencana hidrometeorologis, membuat Indonesia perlu meningkatkan kesiapan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di masa depan. Situasi ini juga tidak terlepas dari mandat UUD 1945 Pasal 28 dan 33, yang memberikan hak kepada setiap manusia di Indonesia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Sejak transisi dari komitmen Paris, Indonesia telah meningkatkan komitmennya dengan mengajukan berbagai dokumen terkait NDC seperti Updated NDC dan Enhanced NDC.

 

Peran Penting Ratifikasi Paris Agreement dan Perpres No. 98 Tahun 2021

Pada tahun 2015, Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang No.16/2016. Langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam meningkatkan dan memastikan keterlibatan internasional dalam pengendalian perubahan iklim. Berbagai dokumen seperti NDC yang telah diupdate, serta Perpres No. 98 tahun 2021, menjadi langkah konkret dalam pencapaian target emisi, termasuk target nilai ekonomi karbon.

Perpres No. 98 Tahun 2021 menegaskan pentingnya transparansi, integritas, inklusivitas, dan keadilan dalam pengaturan nilai ekonomi karbon di Indonesia. Dengan demikian, dokumen-dokumen seperti Enhanced NDC dan Permen LHK No.21/2022 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi landasan operasional dalam pencapaian target.

 

Nilai Ekonomi Karbon: Konsep dan Implementasi

Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merujuk pada nilai setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan kegiatan ekonomi. Konsep ini diatur dalam Perpres 98 dan Permen LHK 21, mencerminkan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Posisi pengaturan Nilai Ekonomi Karbon merupakan implementasi dari prinsip-prinsip Polluters Pay Principle, yang menekankan tanggung jawab pelaku usaha dalam membayar dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dalam hal ini, Permen Nilai Ekonomi Karbon memperkuat prinsip tersebut.

 

Peran Sistem Registri Nasional dalam Pencatatan Nilai Ekonomi Karbon

Pelaksanaan nilai ekonomi karbon melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat global maupun lokal. Melalui Sistem Registri Nasional (SRN PPI), setiap aksi mitigasi dan nilai ekonomi karbon diharapkan dapat tercatat dengan jelas untuk memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK), yang menjadi dasar otorisasi pemerintah.

 

Perlindungan Hak Konstitusional dalam Pengaturan Nilai Ekonomi Karbon

Pengaturan nilai ekonomi karbon juga melibatkan perlindungan terhadap hak konstitusional, khususnya dalam hal lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Pasal 28 dan 33 UUD 1945 memberikan dasar hukum bagi perlindungan tersebut. Perlindungan hak-hak ini menjadi kunci dalam implementasi transisi dari Kyoto Protocol menjadi Paris Agreement.

 

Transparansi dalam Pengaturan Nilai Ekonomi Karbon

Transparansi menjadi aspek penting dalam pengaturan nilai ekonomi karbon. Hal ini tercermin dalam Perpres 98 dan Permen LHK No.21, yang menekankan pentingnya nilai ekonomi karbon yang transparan, diakui secara internasional, dan akuntabel. Transparansi ini menjadi landasan bagi kemajuan dalam pencapaian target NDC Indonesia.

Implementasi nilai ekonomi karbon di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam mencapai target NDC hingga tahun 2030. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, Indonesia bergerak menuju pengendalian perubahan iklim yang lebih baik. Perlindungan hak konstitusional dan aspek transparansi menjadi kunci dalam implementasi nilai ekonomi karbon yang efektif dan berkelanjutan.

Optimasi Pemantauan Kualitas Udara: Metode Manual

Optimasi Pemantauan Kualitas Udara: Metode Manual

Pemantauan kualitas udara menjadi hal yang semakin mendesak di tengah pertumbuhan perkotaan dan aktivitas industri yang meningkat. Metode pemantauan kualitas udara dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode manual dan metode otomatis. Dalam artikel kali ini kita akan membahas tentang pemantauan ambien manual.

Metode Pemantauan Manual

Metode pemantauan manual, meskipun diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan tertentu. Salah satu kendala utama adalah alat pemantau yang berat dan kurang praktis untuk dibawa-bawa, terutama jika dibandingkan dengan Sensor yang lebih ringan dan praktis. Pemantauan ambien manual terbagi menjadi dua kategori, yaitu aktif dan pasif.

Pemantauan manual aktif melibatkan penggunaan pompa, yang berarti alat bekerja secara aktif. Sementara itu, pemantauan manual pasif, seperti yang terlihat pada gambar passive sampler, menggunakan kain atau kapas sebagai filter yang sensitif, direndam dalam larutan khusus. Alat ini akan bereaksi dengan NO2 yang masuk, dan setelah disimpan selama satu minggu, dicelupkan ke dalam larutan untuk diukur dengan spektrofotometri atau metode lainnya.

Pada awalnya, passive sampler digunakan untuk mengukur parameter yang sulit dijangkau, terutama di lingkungan yang terpencil. Contohnya adalah pengukuran kadar sulfur di hutan Amerika yang terkena hujan asam. Pasangannya yang praktis di pohon memungkinkan pengukuran yang efektif. Namun, waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai konsentrasi tertentu dapat bervariasi, tergantung pada tingkat pencemaran. Hal ini menjadi kendala dalam mengonversi hasil pengukuran ke dalam mikrogram per meter kubik.

Kelebihan Pemantauan Manual

Kelebihan dari pemantauan manual pasif adalah harganya yang lebih terjangkau, modular, dan ringkas. Alat ini mendukung mobilitas dan dapat ditempatkan di berbagai lokasi tanpa memerlukan listrik. Saat ini, KLHK telah mengimplementasikan program penggunaan passive sampler di seluruh Indonesia sebagai alternatif yang efisien dan ekonomis, terutama di daerah yang sulit dijangkau oleh metode otomatis.

Namun, penggunaan passive sampler bukan tanpa tantangan. Meskipun sudah berkembang pesat, passive sampler masih memiliki tingkat akurasi yang rendah untuk beberapa parameter, terutama partikulat. Upaya pengembangan terus dilakukan, namun keberlanjutan keberhasilan passive sampler masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Ketika kita berbicara tentang metode manual, kita tidak hanya terbatas pada passive sampler. Metode manual aktif juga masih relevan, terutama ketika keakuratan data menjadi prioritas utama. Pemantauan manual aktif melibatkan penggunaan zat aktif dan pompa untuk menarik aliran udara, yang kemudian dialirkan ke zat aktif lainnya dan diperiksa di laboratorium.

Saat menggunakan metode manual, penting untuk mematuhi standar tertentu. Banyak Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengatur metode manual, dan pelaku serta laboratorium yang terlibat harus bersertifikasi. Hal ini menciptakan ketertiban dan kualitas yang dijaga dengan ketat dalam kegiatan monitoring kualitas udara.

Perbandingan Metode Manual dan Metode Otomatis

Dalam konteks ini, perbandingan dengan metode otomatis menjadi relevan. Meskipun metode otomatis, khususnya yang menggunakan Analisis Kualitas Udara (AQMS) Analyzer, diakui sebagai standar untuk pemantauan kontinyu, metode manual tetap memberikan nilai tambah terutama dalam hal biaya yang lebih rendah dan fleksibilitas penempatan.

Penting untuk diingat bahwa pemantauan kualitas udara merupakan kegiatan yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang holistik. Sementara metode otomatis memberikan data kontinyu yang akurat, metode manual memungkinkan pengukuran yang lebih fleksibel dan ekonomis di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau.

Dengan demikian, perbandingan antara metode manual dan otomatis bukanlah pilihan yang mutlak, melainkan pilihan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dan tujuan pemantauan. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan optimalisasi pemantauan kualitas udara dapat dicapai dengan mengintegrasikan keduanya sesuai kebutuhan.

Kesimpulannya, pemantauan kualitas udara menjadi semakin penting dalam konteks pertumbuhan perkotaan dan industri. Metode manual, terutama menggunakan passive sampler, menjadi alternatif yang efisien dan ekonomis, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh metode otomatis. Dalam memilih metode pemantauan, penting untuk mempertimbangkan kebutuhan spesifik, akurasi data, dan tingkat fleksibilitas yang diperlukan. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pemantauan kualitas udara yang dilakukan dapat memberikan informasi yang akurat dan berharga untuk mendukung kebijakan lingkungan yang berkelanjutan. Melalui pemantauan kulitas udara kita dapat mengidentifikasi sumber-sumber emisi polutan udara. Silakan klik disini untuk mendapatkan berbagai informasi dan artikel terbaru terkait lingkungan hidup.

NDC Indonesia : Komitmen Indonesia terhadap Penurunan Emisi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

NDC Indonesia : Komitmen Indonesia terhadap Penurunan Emisi dan Peningkatan Ketahanan Iklim

NDC Indonesia 2022, Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak langsung dari perubahan iklim, telah meneguhkan komitmennya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan ketahanan iklim. Hal ini tercermin dari penyampaian dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) pada tahun 2022 yang lalu. Indonesia secara resmi meneguhkan komitmennya dengan menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) yang bertujuan untuk memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim. Dokumen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju ketahanan iklim yang lebih baik. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang isi dan implikasi dari dokumen Enhanced NDC 2022 bagi Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim.

Enhanced NDC

Enhanced NDC adalah komitmen yang disepakati oleh negara-negara peserta Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) untuk meningkatkan ambisi mitigasi perubahan iklim dari NDC sebelumnya. Dokumen ini merupakan bagian integral dari Persetujuan Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global menjadi di bawah 2°C, idealnya 1,5°C, di atas tingkat pra-industri. Angka ini telah didasarkan pada riset ilmiah yang mendalam tentang dampak-dampak yang akan terjadi jika suhu global terus meningkat secara signifikan. Mencegah kenaikan suhu global merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.

Komitmen dalam Dokumen Enhanced NDC Indonesia 2022

Dokumen Enhanced NDC Indonesia 2022 mencakup sejumlah komitmen dan langkah-langkah konkret dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Beberapa poin utama yang terdapat dalam dokumen ini antara lain:

  1. Target Penurunan Emisi: Dokumen ini menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 29% secara mandiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, serta langkah-langkah konkret untuk mencapainya.
  2. Pengembangan Energi Terbarukan: Enhanced NDC menekankan pentingnya pengembangan dan peningkatan penggunaan energi terbarukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia akan fokus pada pengembangan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro.
  3. Pengelolaan Hutan dan Lahan: Memperkuat upaya konservasi hutan dan lahan dengan menghentikan deforestasi ilegal, merehabilitasi lahan gambut, dan mendorong praktik agroforestri. Dokumen ini juga menyoroti pentingnya pengelolaan hutan dan lahan sebagai bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim. Indonesia akan mengimplementasikan kebijakan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan penyerapan karbon melalui reboisasi dan restorasi lahan.
  4. Strategi Sektorial: Mengidentifikasi sektor-sektor kunci yang berkontribusi pada emisi, termasuk energi, industri, transportasi, dan pertanian, dengan strategi khusus untuk masing-masing sektor, seperti penggunaan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi.
  5. Penguatan Infrastruktur Berkelanjutan: Meningkatkan investasi dalam infrastruktur berkelanjutan, termasuk transportasi massal yang ramah lingkungan dan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
  6. Partisipasi dalam Kerjasama Internasional: Menegaskan keterlibatan aktif Indonesia dalam kerjasama internasional untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk melalui partisipasi dalam forum internasional dan mekanisme pasar karbon global.
  7. Pemantauan dan Pelaporan Berkelanjutan: Mengimplementasikan mekanisme pemantauan dan pelaporan yang ketat untuk memastikan pencapaian target-target yang ditetapkan dan meningkatkan transparansi dalam pelaksanaan program mitigasi.

Implikasi dan Tantangan

Meskipun Enhanced NDC Indonesia 2022 menawarkan komitmen yang kuat dalam upaya mitigasi perubahan iklim, namun ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Beberapa implikasi dan tantangan yang muncul antara lain:

  1. Keterbatasan Sumber Daya: Implementasi target-target yang tertuang dalam Enhanced NDC akan menghadapi keterbatasan sumber daya baik dari segi finansial maupun teknis. Diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk mengatasi tantangan ini.
  2. Perubahan Kebijakan: Penetapan target-target baru dalam Enhanced NDC mungkin memerlukan perubahan kebijakan yang signifikan. Proses perubahan kebijakan ini harus dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai sektor.
  3. Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat: Pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya mitigasi perubahan iklim perlu ditingkatkan untuk keberhasilan implementasi Enhanced NDC

menjadi langkah penting Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan komitmen yang kuat dan kerjasama lintas sektor, Indonesia berharap dapat berkontribusi secara signifikan dalam upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, tantangan yang ada tidak boleh diabaikan, dan kerja keras serta kerjasama berbagai pihak diperlukan untuk mencapai tujuan mitigasi perubahan iklim yang ambisius.

Mengenal AQMS Analyzer dan AQMS Sensor dalam Pemantauan Kualitas Udara

Mengenal AQMS Analyzer dan AQMS Sensor dalam Pemantauan Kualitas Udara

AQMS Analyzer – Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas tentang Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebagai alat yang memberikan gambaran mengenai kualitas udara ambien atau klik disini untuk mendapatkan berbagai informasi dan artikel terbaru terkait lingkungan hidup. Sekarang, kita akan mengeksplorasi lebih lanjut mengenai bagaimana data ISPU diperoleh, dengan fokus pada dua jenis Alat Pemantau Kualitas Udara (AQMS), yaitu AQMS Analyzer dan Sensor.

Mengenal AQMS Alat Pemantau Udara

AQMS, sebagai alat pemantau udara otomatis yang kontinyu, menjadi salah satu elemen penting dalam mendapatkan data yang akurat tentang kualitas udara di berbagai kota di seluruh dunia. AQMS saat ini terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu AQMS Analyzer dan Sensor.

AQMS Analyzer

AQMS Analyzer merupakan jenis AQMS yang menggunakan metode rujukan atau Standard Reference Method. Alat ini sudah ada sejak tahun 1960-an dan telah menjadi standar di seluruh dunia. Merek yang banyak beredar di Indonesia adalah Horiba. Namun, kelemahan utama dari AQMS Analyzer adalah harganya yang sangat mahal. Untuk satu stasiun dengan 5 parameter, harganya berkisar antara 3-6 miliar, tergantung pada spesifikasi alat. Harga yang tinggi ini menjadi kendala utama, dan sebagai solusi alternatif, muncul AQMS Sensor.

AQMS Sensor

AQMS Sensor, yang juga memiliki spesifikasi setara dengan AQMS Analyzer, menawarkan harga yang jauh lebih terjangkau, sekitar 600 juta hingga lebih rendah lagi, tergantung pada spesifikasi yang dipilih. Meskipun ada kemungkinan harga mencapai 1 milyar, tergantung pada opsi tambahan seperti UPS dan ruangan pelindung, AQMS Sensor tetap menjadi pilihan yang menjanjikan dengan harga yang lebih ekonomis.

Sensor merupakan inovasi terbaru yang dikembangkan sekitar tahun 1990-an dengan menggunakan sensor gas elektrokimia. Namun, sebelum kita mendalami pembahasan tentang Sensor, mari kita lebih dulu memahami komponen dan cara kerja AQMS Analyzer.

AQMS Analyzer Jakarta

Jika kita mengunjungi kota Jakarta, kita dapat menemukan AQMS Analyzer yang umumnya terdiri dari box besar dengan rak-rak yang memuat instrumen-instrumen untuk pemantauan nitrogen, NO2, NO, NOX, SO2, dan partikulat. Alat ini dilengkapi dengan komputer, AC, dan alat pemantau udara seperti kecepatan angin dan temperatur. Beberapa model bahkan dirancang dalam bentuk mobile untuk meningkatkan mobilitas. Namun, kelemahan utama dari AQMS Analyzer adalah biaya perawatan yang tinggi dan ketergantungan pada pasokan gas.

Selain itu, AQMS Analyzer terbagi menjadi beberapa kategori seperti partikulat, NO, NO2, Ozon, CO, SO2, GC (gas-chromatography), dan hydrocarbon. Setiap kategori ini menggunakan alat khusus untuk mengukur parameter tertentu, dan semuanya dirangkai menjadi satu modul. Walaupun AQMS Analyzer telah menjadi standar selama beberapa dekade, harganya yang tinggi membuatnya kurang terjangkau bagi banyak pihak, mendorong munculnya solusi alternatif seperti AQMS Sensor.

Keunggulan AQMS Sensor

Pembahasan mengenai Sensor menjadi lebih penting ketika kita menyadari variasi jenis dan spesifikasinya. Sensor hadir dalam berbagai jenis, seperti Electrochemical yang digunakan untuk polutan ambien seperti NO2, NO, O3, CO, SO2, dan H2S, serta Optical Particulate Counter untuk partikulat. Keunggulan Sensor terletak pada harga yang lebih terjangkau, keberlanjutan dalam bentuk modular dan ringkas, serta konsumsi daya listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan Analyzer.

Cara kerja Sensor ini sangat menarik. Dalam desainnya yang bulat, terdapat kaki-kaki yang mengandung reaktan kimia berupa gel elektrolit. Setiap Sensor didesain untuk satu parameter spesifik, seperti CO, NO2, dan lainnya. Ketika gas tertentu tertangkap, terjadi reaksi yang menghasilkan elektron dan proton. Prinsip ini serupa dengan aliran elektron dalam listrik, diukur sebagai output arus yang dapat memberikan informasi tentang konsentrasi gas tertentu.

Meskipun Sensor menawarkan kelebihan harga yang signifikan dan berbagai jenis yang mendukung mobilitas, namun ada kekurangan yang perlu diperhatikan. Keakuratan Sensor masih dianggap lebih rendah dibandingkan dengan Analyzer, dan beberapa negara, seperti Uni-Eropa, belum sepenuhnya mengakui Sensor sebagai pengganti penuh untuk Analyzer. Saat ini, Uni-Eropa lebih cenderung mengembangkan Sensor sebagai pelengkap, membutuhkan keberadaan Analyzer untuk evaluasi dan kolokasi.

Kekurangan Pengukuran AQMS Sensor

Kekurangan lainnya adalah tingginya ketidakpastian pada hasil pengukuran Sensor, yang masih dalam tahap pengembangan teknologi. Sebagai contoh, hasil penelitian Michelle Penza dari Italia pada tahun 2018 menunjukkan ketidakstabilan pada beberapa Sensor. Meskipun begitu, perkembangan terus berlanjut dan penggunaan Sensor di kota-kota seperti London, Italia, dan Indonesia semakin luas.

Terlepas dari kekurangannya, Sensor memiliki nilai tambah dalam pemantauan kualitas udara. Dengan perbandingan hasil pengukuran antara Sensor dan Analyzer, kita dapat melihat bahwa kualitas Sensor semakin meningkat seiring waktu. Walaupun memiliki ketidakpastian yang relatif tinggi, Sensor memberikan gambaran yang cukup baik tentang kualitas udara, terutama dalam hal indikasi pencemaran udara.

AQMS Analyzer dan Sensor Melalui Jasa Konsultan Lingkungan

Kesimpulannya, perbandingan antara AQMS Analyzer dan Sensor menjadi sangat relevan dalam konteks pemantauan kualitas udara. Meskipun Analyzer masih dianggap sebagai standar, Sensor menawarkan solusi yang lebih terjangkau dan dapat diandalkan untuk pemantauan yang lebih luas dan lebih mobile. Dengan mengembangkan teknologi Sensor, diperlukan adanya kerja sama global untuk meningkatkan akurasi dan kredibilitas hasil pengukuran Sensor.

Dengan begitu, kita dapat memasuki era baru dalam pemantauan kualitas udara yang lebih efisien dan berkelanjutan. Konsultasikan kepada jasa Konsultan Lingkungan dari Lensalingkungan.com dalam pemantauan kualitas udara di jakarta maupun kota lainnya.

Tentang Baku Mutu Emisi Ketel Uap (Boiler)

Tentang Baku Mutu Emisi Ketel Uap (Boiler)

Baku Mutu Emisi – Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia melangkah maju dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dengan menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap. Peraturan ini menjadi tonggak penting dalam pengelolaan emisi ketel uap atau boiler di berbagai sektor industri. Dalam artikel kali ini, kita akan membahas aspek-aspek kunci dari peraturan tersebut, menyoroti pentingnya baku mutu emisi, serta dampak dan manfaatnya bagi lingkungan hidup dan masyarakat.

Latar Belakang Peraturan

Seiring dengan pertumbuhan industri, ketel uap atau boiler menjadi salah satu elemen kunci dalam berbagai proses produksi. Namun, bersamaan dengan manfaatnya, penggunaan ketel uap juga membawa risiko emisi yang dapat merugikan lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, perlunya standar emisi yang ketat menjadi dasar pemikiran dalam pembuatan Peraturan Menteri ini. Tujuan utama peraturan ini adalah untuk mengontrol dan mengurangi dampak negatif emisi ketel uap terhadap kualitas udara dan lingkungan secara keseluruhan.

Definisi dan Lingkup Peraturan

Dalam konteks peraturan ini, ketel uap diartikan sebagai perangkat yang menghasilkan panas dengan menggunakan berbagai jenis bahan bakar seperti biomassa, batu bara, minyak, dan gas. Lingkupnya melibatkan berbagai jenis bahan bakar, termasuk biomassa seperti serabut, cangkang, ampas, dan daun tebu kering, batu bara, minyak, gas, dan campuran bahan bakar. Meski begitu, sektor-sektor industri tertentu seperti besi dan baja, pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik tenaga uap, industri pupuk, serta usaha minyak dan gas bumi, dikecualikan dari peraturan ini.

Baku Mutu Emisi dan Keberlanjutan Lingkungan

Salah satu poin krusial dalam Peraturan Menteri ini adalah penetapan baku mutu emisi. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap menetapkan batas maksimum emisi yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam lingkungan. Tujuan dari penetapan baku mutu ini adalah untuk meminimalkan dampak negatif emisi ketel uap terhadap kualitas udara, tanah, dan air. Dengan mengikuti standar emisi yang telah ditetapkan, diharapkan industri dapat beroperasi dengan lebih ramah lingkungan, mendukung visi keberlanjutan lingkungan hidup. Dalam perhitungan emisi yang dihasilkan oleh kegiatan usaha dan/atau industri maka memerlukan bantuan tenaga ahli yang berpengalaman.

Tujuan dan Manfaat Baku Mutu Emisi

Penetapan baku mutu emisi ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif emisi ketel uap terhadap kualitas udara, tanah, dan air. Dengan mengikuti standar emisi yang telah ditetapkan, diharapkan industri dapat beroperasi dengan lebih ramah lingkungan, mendukung visi keberlanjutan lingkungan hidup.

Jenis-Jenis Bahan Bakar dan Pengaruhnya pada Emisi

Peraturan ini mengidentifikasi beberapa jenis bahan bakar yang dapat digunakan dalam ketel uap, termasuk biomassa, batu bara, minyak, dan gas. Setiap jenis bahan bakar memiliki karakteristik emisi yang berbeda, dan oleh karena itu, perusahaan diharapkan memahami dampak emisi dari bahan bakar yang mereka pilih. Misalnya, biomassa seperti serabut dan cangkang dapat menghasilkan emisi yang berbeda dengan batu bara atau gas. Dengan memahami karakteristik ini, industri dapat mengambil langkah-langkah untuk mengoptimalkan penggunaan bahan bakar dan mengurangi dampak emisinya.

Keadaan Darurat dan Kejadian Tidak Normal

Peraturan ini juga memberikan pengakuan terhadap keadaan darurat dan kejadian tidak normal. Situasi darurat, seperti tidak berfungsinya ketel uap akibat bencana alam, kebakaran, atau huru hara, diakui sebagai keadaan yang membutuhkan penanganan khusus. Begitu pula dengan kejadian tidak normal, yang melibatkan kerusakan atau tidak berfungsinya peralatan. Pengakuan terhadap kondisi-kondisi ini menunjukkan fleksibilitas dalam penerapan aturan, memungkinkan industri untuk bertindak responsif dalam menghadapi situasi yang tidak terduga.

Peran Menteri Lingkungan Hidup

Peraturan ini menunjukkan peran penting Menteri Lingkungan Hidup dalam mengawasi implementasi dan kepatuhan terhadap baku mutu emisi. Sebagai pemegang tanggung jawab utama dalam urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, Menteri memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa peraturan ini dijalankan dengan baik. Ini mencakup pengawasan terhadap pengukuran emisi, penegakan hukum, serta penyusunan kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan.

Dampak Positif pada Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat

Implementasi baku mutu emisi ini bukan hanya tentang mematuhi regulasi pemerintah, tetapi juga membawa dampak positif yang signifikan. Kualitas udara yang lebih baik akan mengurangi risiko terhadap kesehatan manusia, mengurangi polusi udara, dan mendukung keberlanjutan ekosistem. Penerapan baku mutu emisi juga dapat menjadi dorongan bagi inovasi teknologi, memacu para pemilik industri untuk mengadopsi solusi yang lebih bersahabat lingkungan.

Tantangan dan Kesempatan ke Depan

Meskipun peraturan ini membawa banyak manfaat, tantangan tetap ada, terutama terkait dengan kepatuhan industri dan pengawasan. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan implementasi yang efektif dan berkelanjutan dari peraturan ini. Kesempatan untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan dan meningkatkan efisiensi operasional juga muncul sebagai bagian dari tantangan ini.

Dengan adanya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk melindungi lingkungan hidup dan kesehatan Masyarakat.

Kewajiban Persetujuan Teknis Emisi (Pertek Emisi): Usaha yang Sudah Ada

Kewajiban Persetujuan Teknis Emisi (Pertek Emisi): Usaha yang Sudah Ada

Pentingnya menjaga keseimbangan antara perkembangan usaha dan dampak lingkungan semakin menjadi fokus utama, terutama dalam konteks kegiatan pembuangan emisi. Pada pasal 28 Permen LHK nomor 5 tahun 2021 menetapkan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang melibatkan pembuangan emisi wajib mengikuti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL), serta harus memperoleh Pertek (Persetujuan Teknis) dan SLO (Surat Kelayakan Operasional).

Dalam Bab IV Ketentuan Peralihan, usaha dan/atau kegiatan yang sudah ada tetap diperbolehkan menjalankan kegiatannya selama telah memenuhi standar teknis pemenuhan baku mutu emisi yang tercantum dalam persetujuan lingkungannya. Visi seragam dari Kementerian Lingkungan Hidup (LHK) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) provinsi Jawa Timur menegaskan bahwa persetujuan lingkungan yang sudah dimiliki oleh suatu usaha, termasuk dokumen dan izin lingkungan yang lama, tetap berlaku selama mematuhi ketentuan pengelolaan dan pemantauan emisi sesuai dengan aturan yang berlaku pada saat itu.

Dalam situasi perubahan, seperti adanya penambahan satu boiler menjadi dua tanpa mencantumkan perubahan dalam izin lingkungan, penanggungjawab usaha wajib melakukan perubahan persetujuan teknis. Perubahan ini harus dilengkapi dengan persetujuan teknis dan SLO agar tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Pemahaman Pasal 89 PP 22/2021 dan Pasal 40 Permen LHK 5/2021

Sebuah contoh kasus, jika suatu perusahaan yang telah beroperasi sejak tahun 2015 telah memiliki UKL-UPL dan perizinan lingkungan namun belum memiliki Pertek Emisi yang baru berlaku pada tahun 2021. Pertanyaannya, apakah perusahaan tersebut wajib mengurus Pertek emisi? Jawabannya adalah tidak, selama tidak terjadi perubahan spesifik dalam teknis dan alat produksi. Kunci keputusan ini terletak pada Pasal 89 PP 22/2021 dan Pasal 40 Permen LHK 5/2021. Jika tidak ada perubahan-perubahan tersebut, perusahaan dapat tetap menggunakan izin lingkungan yang lama.

Perusahaan juga diberikan opsi dengan mengajukan surat arahan ke Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur atau instansi Lingkungan Hidup yang berwenang. Surat arahan ini bertujuan untuk memperoleh klarifikasi terkait kewajiban Pertek Emisi, apakah wajib atau tidak.. Surat balasan dari instansi tersebut akan menjadi panduan yang dapat ditunjukkan ketika ada pengawasan, baik dari Instansi Lingkungan Hidup maupun Instansi Penegak Hukum.

Pengembangan Usaha dan Kewajiban Pertek Emisi

Melanjutkan kepada contoh kasus lainnya, suatu perusahaan yang telah memiliki boiler sejak tahun 2015 juga memiliki UKL-UPL dan perizinan lingkungan, namun belum memiliki Pertek Emisi yang baru berlaku pada tahun 2021. Apakah perusahaan tersebut perlu mempertimbangkan kewajiban Pertek Emisi saat merencanakan pengembangan usaha?

Jika perusahaan tersebut berencana melakukan pengembangan, misalnya menambah luas lahan dan kapasitas produksi termasuk boiler pada tahun 2024, maka perusahaan wajib mengurus Pertek Emisi karena terjadi perubahan. Perusahaan dapat bekejasama dengan penyedia Jasa Pesetujuan Teknis Emisi (Pertek Emisi) untuk menyusunnya dengan baik. Proses pengajuan Pertek Emisi harus mencakup seluruh kegiatan, baik yang sudah ada (existing) maupun yang baru dikembangkan. Apabila perusahaan telah memiliki boiler dan alat pengendali, maka yang sudah ada, tidak perlu dijabarkan secara detail seperti pada pengembangan. Perusahaan cukup mencantumkan perhitungannya terkait desain gambar teknis yang mencakup semua elemen yang relevan.

Signifikansinya untuk mencakup semua aspek dalam permodelan menjadi prioritas utama. Dalam hal ini, idealnya seluruh aspek kegiatan, baik yang sudah ada (existing) maupun yang baru dikembangkan harus dilakukan permodelan untuk memastikan hasil analisis yang akurat. Analisis untuk Pertek Emisi harus mencakup seluruh aspek kegiatan.

Perizinan dalam Limbah B3

Perizinan dalam Limbah B3

Bagaimana jika orang atau badan usaha atau industri yang menghasilkan limbah B3 belum memiliki izin? Akan coba kita ulas sebagai berikut.

Bagi badan usaha atau industri yang menghasilkan limbah B3 namun belum memiliki izin, maka terlebih dahulu harus melakukan penyimpanan sementara karena secara umum badan usaha atau industri ini tidak mampu untuk mengolah limbah itu sendiri. Apabila industri sudah menyediakan tempat untuk penyimpanan tapi belum ada izinnya, maka harus membuat izin, yang saat ini dikenal sebagai Rintek, yaitu Rincian Teknik, yang di dalamnya terdapat rincian jenisnya, kemudian penjelasan tentang penyimpanannya, terdapat SOP nya, penjelasan kemasannya, dan juga persyaratan lingkungan hidup terkait dengan penanganan tanggap darurat semisal ada tumpahan atau dan lain sebagainya. Tempat penyimpananlimbah B3 harus mengikuti ketentuan teknis.

Mekanisme Permohonan Perizinan Limbah B3

Pada mekanisme permohonan dokumen Rintek, nantinya akan ada pengecekan ke lapangan untuk verifikasinya. Pada saat verifikasi, akan dilihat tempatnya, sudah sesuai belum titik koordinatnya, kemudian apakah bangunannya sudah sesuai dengan ketentuan teknisnya atau belum

Saat ini, perizinan mengenai TPS menyesuaikan dengan PP Nomor 22 Tahun 2021, yang mana sebelumnya acuan perizinan menggunakan PP Nomor 101 Tahun 2014. Sebelumnya, izin penyimpanan ini dikeluarkan oleh bupati atau wali kota, sekarang ini menyesuaikan dengan kewenangan pemberi izin kerusakan lingkungan. Jadi, ketika perusahaan itu baru akan dibangun (industri baru), maka yang dilakukn adalah mengajukan dokumen lingkungan UKL-UPL yang di dalamnya ada pertek air limbah, pertek LB3, pertek emisi.

Lalu, kepada siapa dokumen UKL-UPL ini diajukan? Saat ini terdapat pihak khusus untuk penanganan lingkungan, ada banyak parameternya, dinilai dari ALDI nya, tingkat risikonya, dan juga terdapat ada kelas-kelas siapa yang mengeluarkan izin, dari kementerian, atau gubernur, atau yang paling rendah yaitu bupati atau wali kota. Maka dari itu, kita mengikuti siapa pemberi izin dokumen di lingkungan. Masa berlaku dokumen Rintek yang sebelumnya adalah 5 tahun, sekarang sudah ada perbedaan, yaitu ketika ada perubahan, seperti perubahan limbah yang disimpan misal ada tambahan, lokasi berubah, terkait desain dan kapasitas juga maka baru melakukan pengajuan lagi

Mengenai perizinan/legalitas, seperti yang kita ketahui limbah B3 ini mempunyai risiko yang tinggi, sehingga tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Limbah itu harus disimpan dulu sementara kemudian industri bekerja sama dengan pihak ketiga yang berizin untuk melakukan pengolahan lebih lanjut. Terkait pengiriman pun juga harus dipastikan sudah memiliki izin, salah satunya mengenai kendaraan yang mengangkut, adakah izin rekomendasi izin angkut untuk limbah B3, kartu pengawasan, dan juga vendor pihak ketiga yang pengolah ini juga mengolah izinnya dan harus dipastikan update.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami