Kelangkahan air dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Greywater dan Blackwater dari limbah perumahan ataupun industri, bahan kimia pertanian, dan sumber-sumber lainnya dapat mempengaruhi sistem air. Hampir 50%-80% air limbah yang tidak diolah dialirkan ke sungai dan air tanah. Virus yang menyebabkan COVID-19 (sars-CoV-2) diduga berasal dari air limbah yang belum diolah, tapi Centres for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat membantah karena tidak ada bukti yang kuat. Kualitas air akan semakin menurun hingga 2030 dikarenakan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi
Sungai Gangga adalah salah satu sungai paling kotor di dunia karena aliran airnya terhalang oleh konstruksi bendungan, sehingga sungai ini kehilangan kemampuannya untuk self-cleaning. Sungai ini menerima air limbah tidak terolah sebanyak 3 milyar liter/hari yang berasal dari efluen industri.
Meskipun air merupakan sumberdaya yang dapat terus diperbarui, jumlah air bersih terbatas, sehingga diperlukan metode yang hemat biaya dan mudah diakses. Contohnya adalah dengan pembangunan sewage treatment plant (STP) pada suatu daerah, komunitas, dan rumah tangga secara individual.
Untuk memperbaiki kualitas air sungai yang semakin memburuk dalam beberapa tahun ini, kita harus memahami sistem sungai, mekanismenya, lokasi terbaik untuk membuang air limbah, jumlah limbah yang dibuang, kapasitas asimilasi limbah, dan pihak yang berwajib.
Salah satu wetland di Kolkata Timur, India, merupakan contoh ideal sistem pengolahan air limbah kota secara alami dengan bio-treatment melalui “Sistem pengolahan air limbah dengan kolam dan tanaman ” Air hasil pengolahan digunakan untuk budidaya ikan dan pertanian. Sistem ini menghasilkan 13 ribu ton ikan/tahun dari 300 kolam dan 150 ton sayuran/hari dari lahan pertanian skala kecil yang dialiri oleh air olahan WWTP.
35ribu ton sampah dan 680juta liter air limbah domestik memasuki sistem wetland tiap harinya. Hanya 30 persen dari keseluruhan air limbah tersebut yang digunakan untuk irigasi, sedangkan 70% sisanya mengalir ke Teluk Bengal, sehingga mencemari estuaria dan mengurangi keanekaragaman hayati laut serta menyebabkan kematian bibit ikan. Sistem wetland di Kolkata Timur ini dapat digunakan sebagai contoh pengolahan air limbah domestik sederhana, terutama pada negara berkembang.
Professor A.L Ramanathan dari Jawaharlal Nehru University, New Delhi menyarankan sebuah model sistem pengolahan air untuk kota-kota besar. Pada model ini, semua drainase kota harus dialirkan menuju STP sejauh 10 km diluar kota-kota tersebut. Setelah diolah, air dilanjutkan ke daerah yang dipenuhi urban forest dengan diameter sebesar 2-3 km yang dipenuhi oleh tanaman lokal untuk mengontrol erosi, mengurangi evotranspirasi, dan mengontrol aerosol yang dapat mengandung virus. Hal ini dapat mengurangi laju alir dan meningkatkan waktu kontak air dengan tanah dan bahan organik lainnya sehingga dapat menghilangkan pencemar dan logam berat.
Air yang masuk ke sungai akan terbebas dari pencemar organik dan inorganik sehingga dapat mengembalikan ekosistem flora dan fauna, dan dapat mengembalikan sungai menjadi kondisi murni. Drainase utama akan rutin dikeruk untuk diambil endapan yang kaya akan nutrient dan dapat digunakan sebagai pupuk alami. (sumber: indianexpress.com)