logo lensa lingkungan
Asal Mula Perdagangan Karbon

Asal Mula Perdagangan Karbon

Ada cerita menarik mengenai munculnya perdagangan karbon yang bisa menjadi wawasan baru bagi kita semua. Inisiasi perdagangan karbon diawali dengan adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, dimana hal ini menyebabkan efek rumah kaca yang berkelanjutan. Efek rumah kaca yang berkelanjutan ini mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi ini akan mempercepat laju pencairan es di kedua kutub sehingga berimbas pada peningkatan volume air di lautan yang pastinya menjadi ancaman bagi negara-negara yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan laut, seperti Tuvalu dan Maldive. Negara-negara tersebut diprediksi akan kehilangan sebagian besar hingga 100% wilayahnya pada tahun 2050.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) juga menyebabkan disrupsi kepada kondisi alami musim secara global. Disrupsi yang dimaksud adalah yang pertama berupa bergesernya waktu seperti yang terjadi di musim hujan dan musim kemarau, yang saat ini kita rasakan. Kedua, terjadi perubahan durasi musim, maksudnya adalah musim panas yang lebih panjang, musim hujan yang lebih panjang atau lebih pendek. Ketiga, terjadi perubahan intensitas musim, seperti yang terjadi di beberapa negara yang mengalami musim panas yang berubah menjadi heatwave, di negara-negara yang mengalami musim dingin terjadinya freezing winter yang dinginnya melebihi batas normal. Disrupsi siklus musim alami ini juga akan berpengaruh pada aspek kehidupan manusia, seperti terganggunya produksi pangan, gangguan kesehatan, dan hilangnya spesies kunci yang berperan bagi kehidupan manusia, seperti berkurangnya jumlah serangga atau misalnya lebah sebagai penyerbuk alami di banyak tanaman pangan utama yang penting bagi manusia. Ditambah lagi, habitat alami yang berperan bagi kehidupan manusia juga terancam terganggu, yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi pusat nursery bagi ikan-ikan di laut. Disrupsi musim ini akan berujung pada kerugian ekonomi yang sudah kita rasakan saat ini serta generasi anak cucu kita akan merasakan penurunan kualitas hidup nantinya.

Data dari IPCC tahun 2021 menyampaikan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan suhu rata-rata pada tahun 1900. Jika  dilihat pada siklus alaminya, suhu rata-rata akan mengalami penurunan pada suatu titik. Ketika sudah naik dan peningkatannya melebihi peningkatan sebelumnya, maka penurunan yang terjadi tidak akan mampu untuk mengembalikan kondisi sebelumnya. IPCC juga menyampaikan bahwa kita yang hidup saat ini akan merasakan sebagian kecil dari efek global warming, sedangkan sebagian besar lainnya diprediksi baru akan dirasakan oleh generasi anak dan cucu kita, khususnya bagi yang baru lahir pada tahun 2020 apabila tidak ada kemauan dan aksi nyata yang kita lakukan untuk mengurangi emisi yang telag kita hasilkan. Jika kita membagi jumlah emisi per negara dan perbenua, maka emisi GRK terbesar dihasilkan oleh China dan Amerika yang kurang lebih menghasilkan 40% dari total emisi global. Disusul dengan India, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa, sedangkan Afrika yang notabenya memiliki luas benua cukup besar hanya berkontribusi sebanyak 3% dari emisi global. Berbeda hasilnya jika kita membagi emisi tersebut dengan jumlah penduduk menjadi emisi GRK perkapita, jumlah emisi Cina akan menurun drastis karena jumlah penduduknya mencapai 1,4 miliar jiwa sedangkan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit namun emisinya cenderung tinggi seperti Qatar, Singapura, Brunei akan menghasilkan emisi per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan Cina.

Beberapa hal yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang menjadi alasan atas terinisiasinya perdagangan karbon di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

 

 

Sejarah AMDAL : Sadar Karena Bencana

Sejarah AMDAL : Sadar Karena Bencana

Seiring dengan perkembangan zaman dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan, perlunya suatu kajian mengenai dampak lingkungan muncul. Salah satu kajian tersebut adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL merupakan suatu kajian mengenai dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan atau proyek terhadap lingkungan, dan bagaimana cara mengurangi dampak tersebut. Kali ini Lensa Lingkungan akan mengulas Sejarah AMDAL dan Implementasinya di Indonesia.

Awal Mula

Konsep AMDAL pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1969, setelah terjadinya bencana lingkungan besar akibat kecelakaan kapal minyak di Teluk Santa Barbara. Bencana ini memicu kesadaran akan perlunya melindungi lingkungan dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut. Lalu, munculah Undang-Undang Lingkungan Hidup di Amerika Serikat yang mewajibkan dilakukannya kajian mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan proyek pembangunan.

Sejarah AMDAL di Indonesia

Pada tahun 1982, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini merupakan landasan hukum pertama mengenai perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Di dalamnya termasuk kewajiban untuk melakukan kajian mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan proyek pembangunan.

Pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara lebih rinci mengenai AMDAL. Diaturlah bahwa setiap kegiatan yang memiliki potensi dampak signifikan terhadap lingkungan wajib untuk melakukan kajian AMDAL. Selain itu, terdapat pula kewajiban untuk melakukan konsultasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek tersebut.

Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 2009, di mana Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menguatkan kembali peran Amdal sebagai instrumen penting dalam pengambilan keputusan pembangunan. Disempurnakannya peraturan-peraturan terkait Amdal tersebut semakin menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup dari dampak negatif pembangunan.

Hingga saat ini berlaku UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan berbagai UU, termasuk UU No.32 Tahun 2009. Dan berlaku juga PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tujuan dan Implementasi

AMDAL diciptakan dengan tujuan dapat mencegah, mengurangi, dan mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan pembangunan, baik itu dari sektor industri maupun infrastruktur.

Pada prakteknya, implementasi AMDAL di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Mulai dari minimnya kesadaran akan pentingnya AMDAL di kalangan pengembang proyek, hingga minimnya pengawasan dari pihak berwenang terhadap pelaksanaan AMDAL. Banyak proyek pembangunan yang dijalankan tanpa adanya kajian AMDAL yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan.

Namun dampak positif dari implementasi AMDAL di Indonesia juga telah terlihat. Banyak proyek pembangunan yang akhirnya dihentikan atau dimodifikasi setelah ditemukan dampak yang berpotensi merusak lingkungan.


Sejarah AMDAL bermula dari kesadaran akan perlunya perlindungan lingkungan hidup, dan secara bertahap mulai diimplementasikan di berbagai negara termasuk Indonesia. Meskipun masih menghadapi tantangan, implementasi AMDAL di Indonesia telah memberikan dampak positif dalam melindungi lingkungan hidup. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari semua pihak untuk menerapkan AMDAL secara konsisten guna menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Emisi Fugitive : Buronan Berbahaya Emisi

Emisi Fugitive : Buronan Berbahaya Emisi

Emisi fugitive merupakan emisi yang berasal dari sumber-sumber yang sulit untuk diidentifikasi atau diukur, seperti kebocoran gas, debu, uap, atau partikel dari berbagai jenis industri dan/atau proses manufaktur. Secara teknis emisi fugitif adalah emisi yang tidak dapat melewati cerobong, ventilasi atau sistem pembuangan.

Emisi ini dapat berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan manusia karena seringkali sulit untuk dikendalikan dan seringkali melebihi batas aman yang ditetapkan.

Dari segi kesehatan manusia, emisi fugitif dapat menyebabkan gangguan pernafasan, iritasi kulit dan mata, serta masalah kesehatan lainnya seperti kanker, gangguan saraf, dan masalah kesehatan lainnya. Selain itu, terpaparnya gas beracun atau bahan kimia berbahaya dapat menyebabkan keracunan atau kematian akibat paparan yang tinggi.

Selain dampak langsung bagi kesehatan manusia, emisi fugitif juga memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan. Gas-gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global, yang pada gilirannya akan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem. Hal ini dapat berdampak buruk bagi ekosistem, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya alam. Selain itu, emisi fugitif dapat menyebabkan eutrofikasi air, asidifikasi tanah.

Contoh industri yang memiliki emisi fugitif adalah industri pertambangan dan pengolahan mineral, industri kimia, petrokimia, serta industri pembangkit listrik. Pada industri ini, emisi fugitif umumnya terjadi akibat kebocoran pada peralatan pengolahan maupun proses produksi. Contohnya, pada industri pertambangan, kebocoran gas metana seringkali terjadi akibat proses penambangan batubara atau penggalian tambang.

Untuk mengatasi masalah emisi fugitif, langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang lebih ketat perlu diterapkan. Pemerintah perlu melakukan pengawasan dan regulasi yang lebih ketat terhadap industri-industri yang potensial menghasilkan emisi fugitif.

Lensa Lingkungan bisa membantu perusahaan dalam melakukan pengelolaan emisi fugitif. Kontak kami untuk info lebih lanjut.

Pengertian Baku Mutu Emisi (BME) Sumber Tidak Bergerak

Pengertian Baku Mutu Emisi (BME) Sumber Tidak Bergerak

Baku mutu emisi (BME) sumber tidak bergerak merupakan standar yang ditetapkan untuk mengatur batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan dan/atau yang dikeluarkan oleh sumber-sumber seperti pabrik, kilang, dan instalasi lainnya yang tidak bergerak. Pentingnya baku mutu emisi ini tidak dapat dipandang remeh, karena emisi polutan dapat berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia.

Pemenuhan Baku Mutu Emisi (BME)

Pertama-tama, pentingnya pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah untuk melindungi kualitas udara. Emisi polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan partikulat dapat menyebabkan pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Dengan adanya baku mutu emisi, pabrik dan instalasi lainnya diharuskan untuk membatasi jumlah emisi polutan yang mereka hasilkan, sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap kualitas udara.\

BME Sesuai Dampak Emisinya

Baku mutu emisi (BME) sumber tidak bergerak ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan, sesuai dampak emisinya.

Dampak emisi rendah:

  • Menggunakan baku mutu yang telah ditetapkan oleh Menteri
  • Dalam hal baku mutu emisi belum ditetapkan oleh Menteri, Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib mengajukan kajian dan persetujuan teknis.

Dampak emisi tinggi :

  • Wajib dilengkapi dengan kajian dan persetujuan teknis
  • Pelaku usaha dalam kawasan yang wajib RKL-RPL rinci, pengelola kawasan dalam memeriksa RKL-RPL rinci mempersyaratkan Persetujuan Teknis pemenuhan BME pada RKL-RPL rinci

Selain itu, pemenuhan baku mutu emisi juga berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Emisi polutan dapat mencemari tanah, air, dan ekosistem lainnya, sehingga dapat berdampak buruk pada kehidupan satwa liar dan tumbuhan. Dengan adanya baku mutu emisi yang ketat, diharapkan emisi polutan dapat dikurangi sehingga dapat menjaga keseimbangan alam dan keberlanjutan lingkungan

Bahaya Paparan Polutan untuk Kesehatan Manusia

Dari segi kesehatan manusia, pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak juga memiliki peran yang sangat penting. Paparan polutan udara dapat menyebabkan gangguan pernapasan, iritasi mata, dan bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit serius seperti kanker dan gangguan kardiovaskular. Dengan adanya baku mutu emisi yang ketat, diharapkan polusi udara dapat dikurangi sehingga dapat menjaga kesehatan masyarakat.

Dalam menghadapi tantangan pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak, pabrik dan instalasi lainnya dapat menggunakan teknologi pengendali emisi. Hal tersebut untuk memastikan bahwa tingkat emisi polutan tetap berada dalam batas yang ditentukan. Dapat dilakukan dengan memasang peralatan pengendali emisi seperti filter udara, scrubber gas, dan teknologi lainnya untuk mengurangi emisi polutan.

Pemenuhan baku mutu emisi sumber tidak bergerak bukanlah hal yang mudah, namun sangat penting untuk dilakukan guna menjaga lingkungan, kesehatan manusia, dan keberlanjutan ekosistem. Dalam upaya memenuhi baku mutu emisi sumber tidak bergerak, peran pemerintah juga sangat penting dalam mengawasi dan menegakkan aturan yang telah ditetapkan. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya pemenuhan baku mutu emisi ini, diharapkan pabrik dan instalasi lainnya dapat bekerja sama dalam mengurangi emisi polutan demi kebaikan bersama.

Apakah Anda membutuhkan informasi mengenai baku mutu emisi perusahaan dan akan menyusun persetujuan teknis emisi? Berpengalaman di bidang emisi dan udara ambien, kami bisa membantu menyusun pertek emisi dengan cepat. Silakan kunjungi laman ini untuk detailnya.

Melihat lingkungan dari sebuah lensa, menyadarkan diri pentingnya menjaga lingkungan untuk anak cucu kita

Hubungi Kami

Kantor Operasional:

Jakarta:

Office 8 – Senopati
Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD,
Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Surabaya:

Office 2 – Urban Office – Merr
Jl. Dr. Ir. H. Soekarno No.470 RT 02 RW 09, Kedung Baruk,
Kec. Rungkut, Surabaya, Jawa Timur 60298

Jam Kerja: 08.00 – 16.00 WIB (Senin sd Jumat)

Email : lensa@lensalingkungan.com

Temukan Kami